Rabu, 20 Oktober 2010

Di Saat Fitnah Merajalela

Allah ta’ala berfirman,

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Berhati-hatilah kalian dari suatu ‘fitnah’ yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim di antara kalian saja. Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah maha keras hukuman-Nya.” (QS. al-Anfaal: 25)

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata,

يقول تعالى ذكره للمؤمنين به وبرسوله: “اتقوا”، أيها المؤمنون “فتنة”، يقول: اختبارًا من الله يختبركم، وبلاء يبتليكم “لا تصيبن”، هذه الفتنة التي حذرتكموها “الذين ظلموا”، وهم الذين فعلوا ما ليس لهم فعله، إما إجْرام أصابوها، وذنوب بينهم وبين الله ركبوها. يحذرهم جل ثناؤه أن يركبوا له معصية، أو يأتوا مأثمًا يستحقون بذلك منه عقوبة

“Allah ta’ala dzikruhu menyatakan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya dan kepada rasul-Nya: Hati-hatilah kalian, wahai orang-orang yang beriman, akan suatu fitnah. Maksudnya adalah suatu cobaan dari Allah untuk menguji kalian dan datangnya musibah yang menjadi cobaan untuk kalian. Yang itu tidaklah menimpa –maksudnya adalah fitnah yang diperingatkan kepada kalian- khusus kepada orang-orang yang zalim. Yang dimaksud dengan orang zalim adalah orang-orang yang melakukan sesuatu yang tidak boleh mereka lakukan, baik dengan bentuk melakukan kejahatan, atau dengan berbuat kemaksiatan antara diri mereka dengan Allah. Allah jalla tsana’uhu memperingatkan mereka agar tidak tenggelam dalam kedurhakaan kepada-Nya atau melakukan dosa yang membuat mereka berhak untuk mendapatkan hukuman dari-Nya.” (Jami’ al-Bayan [13/473] asy-Syamilah)

al-Baghawi rahimahullah berkata,

وقال ابن زيد: أراد بالفتنة افتراق الكلمة ومخالفة بعضهم بعضا

“Ibnu Zaid berkata: Yang dimaksud dengan fitnah adalah perpecah-belahan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka.” (Ma’alim at-Tanzil [3/346] asy-Syamilah)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,

قال ابن أبي طلحة عن ابن عباس : في هذه الآية ، أمر الله المؤمنين أن لا يُقِرُّوا المنكر بين أظهرهم ، فيعمهم الله بالعذاب . وقال مجاهد : هذه الآية لكم أيضاً

“Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai makna ayat ini, beliau berkata: ‘Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman –semua- agar mereka tidak membiarkan kemungkaran merajalela di tengah-tengah mereka karena hal itu akan menyebabkan Allah meratakan azab kepada mereka’. Mujahid mengatakan: ‘Ayat ini juga berlaku bagi kalian.’.” (Zaad al-Masiir [3/98] asy-Syamilah)

Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ

“Beribadah di saat harj -berkecamuknya fitnah- laksana berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah berkata,

الْمُرَاد بِالْهَرْجِ هُنَا الْفِتْنَة وَاخْتِلَاط أُمُور النَّاس . وَسَبَب كَثْرَة فَضْل الْعِبَادَة فِيهِ أَنَّ النَّاس يَغْفُلُونَ عَنْهَا ، وَيَشْتَغِلُونَ عَنْهَا ، وَلَا يَتَفَرَّغ لَهَا إِلَّا أَفْرَاد .

“Yang dimaksud dengan harj di sini adalah fitnah dan kesimpangsiuran urusan manusia. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di saat itu adalah karena manusia lalai darinya dan disibukkan dengan perkara lain sehingga meninggalkannya serta tidak ada yang bersungguh-sungguh melakukannya kecuali beberapa gelintir orang saja.” (al-Minhaj [9/339] asy-Syamilah)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

ووجه تمثيله بالهجرة أن الزمن الأول كان الناس يفرون فيه من دار الكفر وأهله إلى دار الإيمان وأهله فإذا وقعت الفتن تعين على المرء أن يفر بدينه من الفتنة إلى العبادة ويهجر أولئك القوم وتلك الحالة وهو أحد أقسام الهجرة

“Sisi kemiripan hal itu dengan hijrah adalah di masa yang pertama -masa Nabi- maka umat manusia dahulu meninggalkan negeri kufur dan penduduknya menuju negeri iman dan penduduknya. Maka apabila terjadi fitnah wajib di saat itu bagi setiap orang untuk pergi membawa agamanya dari gejolak fitnah menuju ketaatan beribadah serta menjauhi kelompok orang-orang yang larut dalam fitnah itu serta keadaan yang buruk itu. Sementara hal itu adalah termasuk salah satu kategori hijrah.” (al-Kaba’ir, hal 202. Lihat juga perkataan Ibnul Arabi yang dinukil dalam Faidh al-Qadir [4/490] asy-Syamilah)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa hakekat ibadah itu adalah, “Menjalankan ketaatan kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.” (lihat Syarh al-Jami’ li ‘Ibadatillahi Wahdah, hal. 16). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga telah menjelaskan dengan ungkapannya yang sangat populer bahwa ibadah itu adalah ‘segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir/tampak maupun yang batin/tersembunyi.’ (lihat kitab beliau al-‘Ubudiyah). Dari sini kita mengetahui bahwa standar ibadah adalah kecintaan Allah. Semakin dicintai suatu perkara/amalan di sisi Allah maka semakin tinggi kedudukan amalan tersebut di dalam agama yang mulia ini.

Dari sini kita bisa memetik pelajaran –wallahu a’lam- bahwa di tengah berkecamuknya fitnah di antara kaum muslimin -dalam bentuk apa saja- maka yang wajib bagi mereka lakukan pertama kali adalah kembali kepada Allah dan merenungkan -berdasarkan dalil-dalil syari’at- mengenai tindakan apakah yang paling Allah cintai bagi mereka ketika fitnah itu telah melanda. Bukan dengan kembali kepada hawa nafsu dan perasaan mereka. Ingatlah, bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itulah hawa nafsu, meskipun ia dibungkus dengan ayat-ayat dan hadits-hadits!

Di tengah tersebarnya berita-berita tidak jelas -apalagi terkait dengan pribadi para ulama ataupun pemerintah-, maka wajib bagi para pemuda untuk menahan lisan dan jari-jari mereka agar tidak berbicara ataupun menyebarkan tulisan mengatasnamakan agama yang mulia ini kecuali dengan dalil dan berlandaskan berita yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ta’ala. Ingatlah, nasehat Muhammad bin Sirin rahimahullah yang dinukil oleh Imam Muslimrahimahullah dalam mukadimah shahihnya, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui kadar dirinya…

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar